Saya membayangkan beratnya
menjadi guru di suatu sekolah menengah. Saat pubertas datang. Ketika anak didik
mencari-cari jati diri, dengan tingkat emosi labil dan ke-aku-annya yang
tinggi. Dan di antara kenyataan bahwa budaya membaca masih sangat rendah.
Di sisi lain, banyak faktor
eksternal yang bisa menjadi penghambat. Antara lain dengan fakta bahwa keluarga
Indonesia memiliki jenis konsumsi yang aneh. Mereka lebih banyak mengeluarkan
uang untuk merokok daripada untuk pendidikan. Alih-alih membeli buku, membayar
kekurangan SPP saja bisa molor. Belum tentang keteladanan orang tua, gizi yang
seimbang ataupun jenis tontonan TV di rumah.
Kemudian yang sangat penting
adalah lingkungan pergaulan. Mereka melihat kebiasaan nongkrong, minum-minuman
keras, nyawer di pentas-pentas musik,
tawuran, pornografi, seks semakin bebas, hamil pranikah, dll. Sementara
pemerintah seakan-akan ikut membentuk perilaku menyimpang. Tingginya tingkat
korupsi, angka pengangguran, sogok-menyogok yang sangat lazim, lemahnya
penegakan hukum, dan infrastruktur yang sangat minim.
Bagaimana bisa mencerdaskan, jika
misalnya fasilitas sekolah masih ala kadarnya. Internet belum menjangkau. Akses
dengan biaya yang masih sangat mahal dan sering ‘lelet’. Tertinggal jauh dengan
Taiwan, negeri dengan akses internet terbagus.
Memang, data demografi
menyebutkan kita akan surplus angkatan kerja yang produktif di tahun-tahun 2020
an. Hal ini tentunya sangat positif dalam hitungan ekonomi karena akan menjadi
kekuatan untuk menarik investor, di saat negara-negara lain surplus di
manulanya. Tetapi tentu kuantitas tanpa kualitas malah menjadi beban. Nah! Selamat
berjuang, guru..