Jumat, 09 Desember 2011

Bukan Takdir

Ada seorang ayah melarang anaknya untuk pergi ke sekolah. Sudah berulang kali ia dilapori oleh wali murid lain, bahwa sang anak sering menangis di kelas. Terakhir, saat semuanya sudah pulang dan diketahui anaknya belum juga sampai di rumah, menjemputlah si ayah ke sekolah. Didapatinya sang anak sendirian tanpa ada guru dan teman, masih menyalin di bukunya, semua yang ada di papan.
“Sudahlah, nak. Kita pulang. Besuk bisa dilanjutkan”. Sang anak dengan wajah takut, ingin menangis, tidak mau juga pulang. “Ini tugas, yah. Kata guru, kalau tulisannya jelek, tidak akan dinilai..” O, rupanya si anak, karena takut tulisannya jelek, sehingga dia lambat menulisnya. Sampai-sampai terlambatnya dalam hitungan jam. Dan sang guru? entah ke mana. Ah, mungkin banyak urusannya. Mungkin saja sedang menyelesaikan banyak SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) untuk BOS (Biaya Operasional Sekolah). Tugas ‘sunah’ yang telah mengknock out tugas ‘wajib’. Tidak tahu ada muridnya sedang tertekan.
Di rumah, “Kamu besuk tidak usah sekolah, nak. Tahun depan saja, kamu sekolah lagi.” Si ayah tahu bahwa anaknya rendah nyali. Masih takut-takut. Sementara lingkungan sekolah ternyata kurang cerdas dan tak mampu menjadi tempat yang menyenangkan.
Berat memang tugas guru. Selain IQ yang mumpuni, EQ dan SQ juga harus terlatih. Selain agen ilmu, guru harus mampu tampil juga sebagai inspirator dan motivator. Guru yang mampu mencetak pribadi-pribadi tangguh, yang pantang menyerah dengan kegagalan. Guru yang disegani karena kompetensi dan perilakunya, bukan karena jabatannya. Guru yang dihormati dengan sadar, bukan dengan ‘ancaman’ dan pengkondisian. Guru yang memang layak digugu dan ditiru. 
Akhirnya, sekolah adalah surga. Belajar itu menyenangkan. Belajar itu bermain, bermain sambil belajar. Belajar adalah kebutuhan jiwa, bukan keterpaksaan. Mengetahui sesuatu yang baru terasa mengasyikkan. Ketika ditanya tentang hobi, salah satunya adalah membaca atau belajar.
Kalau ada pepatah mengatakan “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, maka hal itu sudah kadaluwarsa. Tidak ada bersakit-sakit dahulu, yang ada hanyalah bersenang-senang selalu. Belajar, mengerjakan kewajiban, bekerja, dsb. adalah proses yang membahagiakan.
Jadi kalau sudah belajar, tetapi masih belum ‘pintar’, sudah bekerja merasa belum ‘banyak harta’, no problema. Karena kita telah dan sedang bersenang-senang. Karena persepsi kita sudah disesuaikan dengan persepsi Tuhan. Dan Tuhan lebih menilai kepada prosesnya, bukan hasilnya.
“Nak, ayah tidak menginginkan kamu menjadi kampiun agar ayahmu bangga. Ayah hanya ingin kamu senang belajar. Rajin ke sekolah. Tidak penting kamu juara atau tidak. Bahkan kalau kamu tidak naik kelaspun, ayah tidak akan marah dan malu. Mengerjakan dengan usaha terbaik, tak usah kau pikirkan menjadi yang terbaik..” kata si ayah, saat di tahun berikutnya, sang anak menyerahkan raport dengan stempel: naik kelas dan dapat rangking 1. “Dan ini, hadiah untuk usahamu...”
Malaikatpun tersenyum. Bahagianya hidup..
Sayup-sayup terdengar Dalai Lama yang berkata: “Kebahagiaan bukanlah takdir, melainkan sebuah pilihan..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar