Ada seorang ayah melarang anaknya
untuk pergi ke sekolah. Sudah berulang kali ia dilapori oleh wali murid lain,
bahwa sang anak sering menangis di kelas. Terakhir, saat semuanya sudah pulang
dan diketahui anaknya belum juga sampai di rumah, menjemputlah si ayah ke
sekolah. Didapatinya sang anak sendirian tanpa ada guru dan teman, masih
menyalin di bukunya, semua yang ada di papan.
“Sudahlah, nak. Kita pulang.
Besuk bisa dilanjutkan”. Sang anak dengan wajah takut, ingin menangis, tidak
mau juga pulang. “Ini tugas, yah. Kata guru, kalau tulisannya jelek, tidak akan
dinilai..” O, rupanya si anak, karena takut tulisannya jelek, sehingga dia
lambat menulisnya. Sampai-sampai terlambatnya dalam hitungan jam. Dan sang guru?
entah ke mana. Ah, mungkin banyak urusannya. Mungkin saja sedang menyelesaikan banyak
SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) untuk BOS (Biaya Operasional Sekolah). Tugas
‘sunah’ yang telah mengknock out
tugas ‘wajib’. Tidak tahu ada muridnya sedang tertekan.
Di rumah, “Kamu besuk tidak usah
sekolah, nak. Tahun depan saja, kamu sekolah lagi.” Si ayah tahu bahwa anaknya rendah
nyali. Masih takut-takut. Sementara lingkungan sekolah ternyata kurang cerdas
dan tak mampu menjadi tempat yang menyenangkan.
Berat memang tugas guru. Selain
IQ yang mumpuni, EQ dan SQ juga harus terlatih. Selain agen ilmu, guru harus
mampu tampil juga sebagai inspirator dan motivator. Guru yang mampu mencetak
pribadi-pribadi tangguh, yang pantang menyerah dengan kegagalan. Guru yang disegani
karena kompetensi dan perilakunya, bukan karena jabatannya. Guru yang dihormati
dengan sadar, bukan dengan ‘ancaman’ dan pengkondisian. Guru yang memang layak
digugu dan ditiru.
Akhirnya, sekolah adalah surga.
Belajar itu menyenangkan. Belajar itu bermain, bermain sambil belajar. Belajar
adalah kebutuhan jiwa, bukan keterpaksaan. Mengetahui sesuatu yang baru terasa
mengasyikkan. Ketika ditanya tentang hobi, salah satunya adalah membaca atau
belajar.
Kalau ada pepatah mengatakan
“berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian”, maka hal itu sudah kadaluwarsa. Tidak ada
bersakit-sakit dahulu, yang ada hanyalah bersenang-senang selalu. Belajar,
mengerjakan kewajiban, bekerja, dsb. adalah proses yang membahagiakan.
Jadi kalau sudah belajar, tetapi
masih belum ‘pintar’, sudah bekerja merasa belum ‘banyak harta’, no problema. Karena kita telah dan
sedang bersenang-senang. Karena persepsi kita sudah disesuaikan dengan persepsi
Tuhan. Dan Tuhan lebih menilai kepada prosesnya, bukan hasilnya.
“Nak, ayah tidak menginginkan
kamu menjadi kampiun agar ayahmu bangga. Ayah hanya ingin kamu senang belajar.
Rajin ke sekolah. Tidak penting kamu juara atau tidak. Bahkan kalau kamu tidak
naik kelaspun, ayah tidak akan marah dan malu. Mengerjakan dengan usaha
terbaik, tak usah kau pikirkan menjadi yang terbaik..” kata si ayah, saat di tahun
berikutnya, sang anak menyerahkan raport dengan stempel: naik kelas dan dapat
rangking 1. “Dan ini, hadiah untuk usahamu...”
Malaikatpun tersenyum. Bahagianya
hidup..
Sayup-sayup terdengar Dalai Lama
yang berkata: “Kebahagiaan bukanlah takdir, melainkan sebuah pilihan..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar