PDB (Produk Domestik Bruto, Gross Domestic Product/GDP) adalah nilai
pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian dalam
kurun waktu tertentu. Salah satu pendekatan untuk menemukan angka PDB adalah
dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran baik oleh rumah tangga (konsumsi, C),
Industri (Investasi, I) dan pemerintah (Government, G) serta selisih
ekspor-impor (X-I).
Pertumbuhan ekonomi suatu negara
adalah pertumbuhan PDB nya. Tetapi ukuran kesejahteraan rakyat dilihat dari
PDB, nanti dulu.
Pertama, tentang pemerataan. PDB
tinggi mencerminkan ‘kue’ yang besar tetapi tidak memberitahu kita seberapa
meratanya dibagi ke seluruh populasi. Bisa jadi kita mencatat angka kemiskinan
meningkat pula di saat negara
mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi meningkat..
Kedua, tidak semua aktivitas
ekonomi tercatat oleh PDB. Misalnya, ada dua orang, sebut saja A dan B. Si A
tiap hari ke kantor dengan jalan kaki. Untuk makan, cuci pakaian dan semua
pekerjaan rumahan di kerjakan bersama isterinya, termasuk merawat orang tuanya
yang sudah sepuh. Menjemur cucian
cukup mengandalkan matahari. Jika ingin baca buku, ia pinjam ke perpustakaan. Bahkan
walau hanya punya pekarangan sempit, ia bisa menanam sayuran sendiri. Seminggu
sekali olah raga mengelilingi perkampungan.
Sementara si B, pergi ke kantor
dengan mobil yang butuh bahan bakar dan biaya perawatan periodik. Selalu makan
di restoran. Mesin cuci plus
pengeringnya ada di pojok rumahnya yang besar dan mewah. Sehingga dia perlu
memepekerjakan pembantu. Suhu rumahnya selalu sejuk berpendingin sepanjang tahun. Untuk anak-anaknya, ada beberapa
pengasuh. Jika ingin baca buku, ia beli. Olah raganya di pusat kebugaran. Beli
sayuran di pusat perbelanjaan. Orang tuanya dititipkan di panti jompo. Semantara
si A sibuk dengan pekerjaan domestiknya, si B bisa punya waktu ke diskotik
untuk minum-minum, berfoya-foya.
Bagi PDB, semua aktivitas si A tak
tercatat dan tentu tidak mencerminkan pertumbuhan. Sedang konsumsi B
meningkatkan PDB. Gajinya lebih tinggi, konsumsinya lebih banyak, aktivitas
ekonominya lebih meriah. Ketiga, PDB bukan satu-satunya ukuran kesejahteraan. Kembali ke ilustrasi di atas, apakah B lebih sejahtera dibanding A? Nyatanya, ada indikasi subtil bahwa aneka macam produk yang dikonsumsi si B semestinya digolongkan -yang oleh sebagian ekonom- sebagai ‘bads’.
Sistem pengamanan di rumah si B bisa jadi bukan indikator yang tepat buat atas keamanan personalnya. (nasehat nenek: “pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok”. Bersosialisasi dengan tetangga dan guyub, disimbolkan memberi makanan dalam mangkok).
Kemudian dengan meihat hasil tes medisnya, pengeluaran B untuk perawatan kesehatan sangatlah kelewatan. Lebih lagi, polusi akibat kemacetan dekat rumahnya. Sementara pom bensin dan toko onderdil akan semakin banyak, jika orang-orang tipe B bertambah, sangat mungkin berkontribusi pada masalah-masalah sosial dan lingkungan. Dan kita tak tahu juga bila si B hidup ‘lebih besar pasak daripada tiang’, karena kemudahan kredit, tak bisa diprediksi kualitas hidupnya di masa datang.
Keempat, PDB juga tidak mengukur keberlanjutan hidup. Produksi Sumberdaya alam seperti hasil hutan, pertambangan, perikanan dsb, akan menampakkan PDB naik, tetapi tentu bisa mengurangi kualitas dan keberlanjutan hidup. Ekslpoitasi hutan meningkatkan suhu bumi, pertambangan, bisa anda klik di blog ini, misalnya, tentang “emas yang tak lagi berkilau”. Dan baru baru ini kita baca tentang minyak di negeri ini yang akan segera habis.
Kelima, lebih lanjut tentang konsumsi bad goods. Yakni, belanja untuk pertahanan. Sedikit fakta, ribuan trilyun rupiah ‘dibuang’ hanya untuk perang irak dan afghanistan. Apakah lebih sejahtera dengan belanja-belanja untuk yang katanya memerangi teroris? Atau hanya memunculkan kebencian dan menyuburkan teror? Seperti yang dituturkan dalam buku “benturan antar fundamentalis”. Dan Anda pasti tercengang ketika diberi tahu bahwa biaya pemeliharaan alat-alat perang semua negara selama 6 minggu saja sudah mampu mengentaskan kelaparan dunia. Ah... “Andai dunia tak punya tentara, tentu tak ada perang yang makan banyak biaya..”, kata Iwan Fals dalam lagu pesawat tempur.
Satu lagi tentang ‘barang buruk’, yaitu rokok. Berapa banyak produksi atau konsumsi rokok negeri ini yang tentunya tercatat dalam PDB? Kelihatannya PDB tinggi, tetapi untuk komoditi yang membahaykan kesehatan, tentu tak baik. (ironisnya rokok menempati urutan kedua setelah beras, di daftar barang-barang yang dikonsumsi masyarakat kita, melebihi konsumsi untuk pendidikan, kesehatan dsb. : survei LD-UI).
Kementerian kesehatan melaporkan angka pengeluaran untuk rokok pada tahun 2010 sebesar 231,27 trilyun rupiah. Rinciannya, untuk beli rokok Rp. 138 T, perawatan medis akibat rokok sebesar Rp. 2,11 T serta hilangnya produktivitas Rp. 91,16 T. Angka ini melebihi penerimaan negara dari cukai sebesar Rp. 73,25 T (2011) dan anggaran Kemenkes pada tahun 2012, Rp. 29,92 T.
Fakta lainnya, pemilik pabrik rokok selalu masuk daftar orang terkaya, namun petani tembakau dan pekerja pabrik rokok tak beranjak dari kesulitan.
Akhirnya, kita ingat Simon Kuznets, penemu PDB, yang sejak awal mengkhawatirkan tentang aktivitas perekonomian bangsa (baca, PDB) bisa disalah artikan sebagai kesejahteraan warganya.
Karena itu, misalnya ada konsep tentang Green GDP atau negeri Bhutan yang tengah merancang GHN (Gross National Happiness) dan Amartya Sen dengan Indeks Pembangunan Manusia-nya.
(referensi: N G. Mankiw:
Makroekonomi dan Joseph E Stiglitz, dkk: Mengukur Kesejahteraan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar