Rabu, 21 September 2011

Paradoks Hemat

Kita sebagai konsumen dalam ekonomi mempunyai tujuan mengoptimalkan kepuasan (utility). Bagaimana mendapatkan kombinasi (bundle of goods) yang terbaik atas konsumsi kita sehingga memberi tingkat kepuasan tertinggi.

Konsumsi (C) secara agregat (total) dalam suatu wilayah perekonomian (misalnya negara) akan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini ditandai dengan hubungan positif (keynessian) antara konsumsi dengan pendapatan negara (Y) atau bisa disetarakan dengan PDB (Produk Domestik Bruto). Dan Pertumbuhan PDB ini disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Y=C+G+I+X-M.

Atau kalau kita otak-atik, konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga-rumah tangga (RTK) akan menggerakkan perekonomian dengan terbelinya barang dan jasa, menyebabkan produsen (RTP) akan terus beraktivitas, dan merekrut banyak tenaga kerja dari RTK. Demikian perekonomian akan berputar karena RTK mendapatkan penghasilan untuk dikonsumsikan kembali. Dan menurut toeri dan fakta, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi konsumsi kita, walau peningkatannya tak sebanyak peningkatan pendapatan (dalam %).

Maka konsumsi kita sebagai rumah tangga menjadi sangat berarti. Apabila RTK mengurangi konsumsinya, misalnya lebih banyak ditabung, hal ini memang sehat bagi keuangan RTK, tetapi kabar buruk bagi kondisi makroekonomi. Jika yang terjadi adalah kelesuan, maka biasanya pemerintah akan memanaskannya dengan stimulus fiskal. Dengan memperbesar pengeluarannya (G) seperti membangun infrasturktur penting, seperti jalan, listrik, air, bendungan, pelabuhan, pemotongan pajak, dsb. dsb.

Inilah yang disebut paradoks hemat dalam pelajaran kita di sekolah. Hemat adalah anjuran. Kemubadziran (kesiaan) dan sifat boros adalah keburukan. Bagaimana paradoks ini terpecahkan?
Tuntunan agama menyarankan agar jangan menimbun-nimbun harta, biarkan harta itu meluas, tidak terakumulasi pada segelintir orang. Maka diwajibkan zakat (2,5%) dan dianjurkan menginfaqkan sebagian rizki (bisa sampai 90 %). Dengan ini, akan ada banyak orang mendapatkan kekuatan untuk belanja, bahkan mungkin dengan pengelolaan ZIS yang baik akan menambah investasi (I) dan diharapkan menciptakan efek berlipat (multiplier effect), sehingga mampu meningkatkan kemakmuran bersama.

Sebagai penggerak ekonomi, tentu saja, kita juga harus menabung. Tetapi dengan landasan bukan semata-mata untuk mengakumulasi harta, maka tabungan-tabungan yang dikumpulkan oleh bank, koperasi, atau apa saja (=penyalur dari yang lebih dana ke kurang dana=), tidak bersifat riba yang eksploitatif. Bisa dengan skema "benar-benar" syari'ah atau setidaknya bunga yang terbebankan tidak melebihi tingkat inflasi. Jepang saja tingkat bunga depositonya mendekati nol % dan Amerika hanya tidak sampai 1 %.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar