Kamis, 08 September 2011

Mudik

Mudik tidak terjadi di negara kita saja, di Bangladesh dan China pun ada. Ustadz Einstein berkata: “Untuk ibu dan kampung halaman, orang bisa emosional..” Pemudik Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan melibatkan 13 juta orang. Separuh lebih, atau sekitar 7 Juta diantaranya dari Jakarta. Walaupun sebagian orang sudah merasa lelah karena perjuangan selama mudik dan faktor ekonomi, tetapi kenyataannya jumlahnya meningkat dari 12 juta di tahun lalu (walau mungkin dari prosentase bisa menurun). Mereka “rela” membeli tiket  yang melangit dan bisa kehabisan, berjubel di kereta dan kapal, menginap di stasiun, macet berjam-jam di jalan, dsb.
Kita ikut ngeri melihat kematian jalanannya. Kecelakaan lalu lintas tercatat  lebih dari 700 jiwa melayang, 1200  luka berat, 3014 luka ringan (Metro TV). Sebuah pengorbanan yang teramat besar. “Pemakai motor sebagai pemicu besarnya angka kecelakaan”, begitu pemerintah kita bericara. Entah kemana variabel lainnya, tentang kesiapan pemerintah sendiri, kondisi jalan, ketercukupan dan kelaikan alat angkutan? Ah..
Mudik secara fisik masih merupakan hiburan. Perjuangan untuk pulang adalah kenikmatan. Hasil bekerja selama setahun di rantau orang, sebagiannya disisihkan untuk sebuah kekangenan. Mangan ora mangan kumpul, budaya jawa yang masih lestari. Atau mungkin ritual ini adalah bentuk lain dari plesirannya orang bule atau orang Jepang ketika menikmati Bali, Borobudur, Komodo dll. Plesiran yang lebih ekonomis dengan tingkat kepuasan sama. Anggap saja kalau kita ke pantai desa, membayangkannya di pantai Ancol.
Semacam mengecoh pikiran. Emha AN memberi tips bagi yang masih lajang untuk tidur di sofa saja, jangan di ranjang yang cukup untuk dua orang. Agar tidak membayangkan pasangan disisinya, dst.  Atau untuk latihan khusyu’ bisa dicoba di kuburan saat malam gelap (kuburan mengingatkan mati, gelapnya berarti pendekatan ketakutan. Bagaimana dengan tips pendekatan kasih sayang? PR)
Mudik lebaran berbarengan dengan mudik spiritual, yakni ‘Idul Fitri. Mudik fisik setahun sekali, mudik spiritual bisa kita lakukan setiap hari, setiap waktu. Dan kalau mudik ruhani telah sukses, rasanya mudik jasmani dapat kita lakukan kapan saja, tanpa  berjam’ah dan dalam waktu yang sama. Pulang kampung dengan kebahagiaan dan mampu berbagi dengan saudara. Menggairahkan ekonomi daerah. Selamat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar