Jumat, 09 September 2011

Bahasa Jawa.

Kowe, sampeyan, njenengan adalah bahasa jawa yang berati kamu. “Sampeyan” lebih halus, lebih menghormati daripada “kowe”. Digunakan untuk orang seusia atau lebih tua sedidkit. “Njenengan” yang paling halus. Digunakan untuk orang yang lebih tua dan dihormati. Jadi ada tingkatan-tingkatan dalam bahasa jawa. Ada ngoko, kromo, kromo inggil dst.
Apakah tingkatan-tingkatan ini ada hubungannya dengan tingkatan-tingkatan dalam Hindu ataukah tidak? Saya belum tahu jawabannya. Mungkin Anda sudah tahu. Tolong dibagi wawasannya. Tapi yang jelas ada kondisi psikologis yang menghambat jika Anda, misalnya, ingin memberi saran atau masukan kepada kyai atau tetua di sekitar Anda. Ada rasa ewuh pakewuh, sungkan dsb.
Berbeda dengan sejarah Nabi yang kita baca, bagaimana Umar bin khattab bisa langsung mengutarakan ketidaksetujuannya tatkala perjanjian hudaibiyah diteken. Bagaimana Salman Al Farisi, seorang persia, dengan usul pembuatan paritnya. Bagaimana seorang pemuda dengan lantang mengatakan kepada Kholifah Umar ra “jika Anda melenceng, maka pedang ini yang akan meluruskannya..” dan Kholifah pun lega.
Selain karena gaya kepemimipinan Nabi dan sahabatnya yang egaliter, saya menduga karena jenis bahasanya yang tidak mengenal kelas-kelas. Menyetujui apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa bahasa jawa kurang egaliter dan takutnya hal ini mempengaruhi perilaku orangnya. Teringat juga tentang sebuah tesis, kalau tidak salah oleh Samuel Huntington yang mengatakan bahwa protestan lebih mendorong demokrasi daripada katolik.
Jadi, kalau Anda yang orang Jawa menjadi presiden, kyai, guru, kepala keluarga, atau pemimpin apapun, maka jiwa dan perilaku demokratis harus Anda punyai agar keadaan berjalan baik. Sikap otoriter akan merugikan bagi perkembangan positif. Perilaku bak raja hanya akan menjadi bumerang. Nabi mengajarkan musyawarah, kebulatan tekad dan tawakkal. Ewuh pakewuh harus dikikis karena dia sebenarnya adalah thoghut yang menghambat kemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar