Jumat, 09 Desember 2011

Tentang Tantangan Tangan Guru

Saya membayangkan beratnya menjadi guru di suatu sekolah menengah. Saat pubertas datang. Ketika anak didik mencari-cari jati diri, dengan tingkat emosi labil dan ke-aku-annya yang tinggi. Dan di antara kenyataan bahwa budaya membaca masih sangat rendah.
Di sisi lain, banyak faktor eksternal yang bisa menjadi penghambat. Antara lain dengan fakta bahwa keluarga Indonesia memiliki jenis konsumsi yang aneh. Mereka lebih banyak mengeluarkan uang untuk merokok daripada untuk pendidikan. Alih-alih membeli buku, membayar kekurangan SPP saja bisa molor. Belum tentang keteladanan orang tua, gizi yang seimbang ataupun jenis tontonan TV di rumah.
Kemudian yang sangat penting adalah lingkungan pergaulan. Mereka melihat kebiasaan nongkrong, minum-minuman keras, nyawer di pentas-pentas musik, tawuran, pornografi, seks semakin bebas, hamil pranikah, dll. Sementara pemerintah seakan-akan ikut membentuk perilaku menyimpang. Tingginya tingkat korupsi, angka pengangguran, sogok-menyogok yang sangat lazim, lemahnya penegakan hukum, dan infrastruktur yang sangat minim.
Bagaimana bisa mencerdaskan, jika misalnya fasilitas sekolah masih ala kadarnya. Internet belum menjangkau. Akses dengan biaya yang masih sangat mahal dan sering ‘lelet’. Tertinggal jauh dengan Taiwan, negeri dengan akses internet terbagus.
Memang, data demografi menyebutkan kita akan surplus angkatan kerja yang produktif di tahun-tahun 2020 an. Hal ini tentunya sangat positif dalam hitungan ekonomi karena akan menjadi kekuatan untuk menarik investor, di saat negara-negara lain surplus di manulanya. Tetapi tentu kuantitas tanpa kualitas malah menjadi beban. Nah! Selamat berjuang, guru..

Bukan Takdir

Ada seorang ayah melarang anaknya untuk pergi ke sekolah. Sudah berulang kali ia dilapori oleh wali murid lain, bahwa sang anak sering menangis di kelas. Terakhir, saat semuanya sudah pulang dan diketahui anaknya belum juga sampai di rumah, menjemputlah si ayah ke sekolah. Didapatinya sang anak sendirian tanpa ada guru dan teman, masih menyalin di bukunya, semua yang ada di papan.
“Sudahlah, nak. Kita pulang. Besuk bisa dilanjutkan”. Sang anak dengan wajah takut, ingin menangis, tidak mau juga pulang. “Ini tugas, yah. Kata guru, kalau tulisannya jelek, tidak akan dinilai..” O, rupanya si anak, karena takut tulisannya jelek, sehingga dia lambat menulisnya. Sampai-sampai terlambatnya dalam hitungan jam. Dan sang guru? entah ke mana. Ah, mungkin banyak urusannya. Mungkin saja sedang menyelesaikan banyak SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) untuk BOS (Biaya Operasional Sekolah). Tugas ‘sunah’ yang telah mengknock out tugas ‘wajib’. Tidak tahu ada muridnya sedang tertekan.
Di rumah, “Kamu besuk tidak usah sekolah, nak. Tahun depan saja, kamu sekolah lagi.” Si ayah tahu bahwa anaknya rendah nyali. Masih takut-takut. Sementara lingkungan sekolah ternyata kurang cerdas dan tak mampu menjadi tempat yang menyenangkan.
Berat memang tugas guru. Selain IQ yang mumpuni, EQ dan SQ juga harus terlatih. Selain agen ilmu, guru harus mampu tampil juga sebagai inspirator dan motivator. Guru yang mampu mencetak pribadi-pribadi tangguh, yang pantang menyerah dengan kegagalan. Guru yang disegani karena kompetensi dan perilakunya, bukan karena jabatannya. Guru yang dihormati dengan sadar, bukan dengan ‘ancaman’ dan pengkondisian. Guru yang memang layak digugu dan ditiru. 
Akhirnya, sekolah adalah surga. Belajar itu menyenangkan. Belajar itu bermain, bermain sambil belajar. Belajar adalah kebutuhan jiwa, bukan keterpaksaan. Mengetahui sesuatu yang baru terasa mengasyikkan. Ketika ditanya tentang hobi, salah satunya adalah membaca atau belajar.
Kalau ada pepatah mengatakan “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, maka hal itu sudah kadaluwarsa. Tidak ada bersakit-sakit dahulu, yang ada hanyalah bersenang-senang selalu. Belajar, mengerjakan kewajiban, bekerja, dsb. adalah proses yang membahagiakan.
Jadi kalau sudah belajar, tetapi masih belum ‘pintar’, sudah bekerja merasa belum ‘banyak harta’, no problema. Karena kita telah dan sedang bersenang-senang. Karena persepsi kita sudah disesuaikan dengan persepsi Tuhan. Dan Tuhan lebih menilai kepada prosesnya, bukan hasilnya.
“Nak, ayah tidak menginginkan kamu menjadi kampiun agar ayahmu bangga. Ayah hanya ingin kamu senang belajar. Rajin ke sekolah. Tidak penting kamu juara atau tidak. Bahkan kalau kamu tidak naik kelaspun, ayah tidak akan marah dan malu. Mengerjakan dengan usaha terbaik, tak usah kau pikirkan menjadi yang terbaik..” kata si ayah, saat di tahun berikutnya, sang anak menyerahkan raport dengan stempel: naik kelas dan dapat rangking 1. “Dan ini, hadiah untuk usahamu...”
Malaikatpun tersenyum. Bahagianya hidup..
Sayup-sayup terdengar Dalai Lama yang berkata: “Kebahagiaan bukanlah takdir, melainkan sebuah pilihan..”

Rabu, 07 Desember 2011

Trinitas yang Mustahil

Analisis rezim kurs sampai pada kesimpulan yang sederhana: kita tidak dapat memiliki semuanya. Mustahil bagi negara untuk menggunakan sekaligus dari tiga sisi: rezim aliran modal yang bebas, kurs tetap dan kebijakan moneter yang independen. Fakta ini, sering disebut dengan trinitas yang mustahil (impossible trinity). Sebuah negara harus memilih salah satu dari segitiga ini, dan melupakan kelebihan institusi dua sisi lainnya.

 
 


Pilihan pertama seperti dilakukan AS beberapa tahun terakhir, yaitu memudahkan aliran modal untuk datang-pergi, dengan keleluasaan menerapkan kebijakan moneter yang independen. Pada kasus ini, tidak mungkin menetapkan kurs tetap. Kurs harus mengambang untuk menyeimbangkan pasar valuta asing.
Pilihan kedua dengan kebebasan aliran modal dan kurs tetap, seperti yang dipraktekkan oleh Hongkong. Namun, negara tidak bisa menjalankan kebijakan moneter yang independen. Jumlah uang beredar harus menyesuaikan agar mampu menjaga kurs pada tingkat yang telah dikehendaki. Dalam beberapa hal, ketika suatu negara mematok uangnya dengan mata uang tertentu, berarti ia mengadopsi kebijakan moneternya sekaligus.
Pilihan Ketiga adalah dengan membatasi aliran modal internasional, baik masuk maupun keluar. Kurs tidak lagi tetap terhadap tingkat bunga dunia namun ditentukan oleh kekuatan domestik seperti yang telah terjadi pada kasus perekonomian tertutup. Karena itu, suatu negara bisa menggabungkan kurs tetap dan kebijakan moneter independen.
Sejarah menunjukkan sebuah negara sanggup dan dapat memilih salah satu sisi dari trinitas. Tiap negara harus bertanya pada dirinya: Apakah ingin hidup dalam kurs yang bergejolak (pilihan 1), apakah mau melupakan kegunaan kebijakan moneter untuk tujuan stabilitas domestik (pilihan 2), atau apakah negara tersebut ingin membatasi warganya dari berpartisipasi pada pasar uang dunia (pilihan 3)? Trinitas yang mustahil menyatakan tidak satupun negara dapat menghindari pilihan ini.
(Sumber: N Gregory Mankiw, Makroekonomi Edisi 6)

Minggu, 23 Oktober 2011

Negeri Playboy

Playboy, kita tahu adalah majalah porno terkenal dengan tampilan perempuan-perempuan, yang dalam bahasa agama dan norma ketimuran merupakan sesuatu yang dilarang dan tabu.
Ada  sekelumit cerita dari GATRA edisi agustus 2011 yang berhubungan dengan majalah ini, yakni tentang sepak terjang menantu pendiri playboy. Namanya William A Marovitz. Ia terbukti bersalah melakukan insider trading ketika melakukan aksi jual beli saham Playboy Enterprise International Inc  yang membawahi majalah bersimbol kepala kelinci tersebut. Meraup untung sekitar US $ 100.000, tetapi harus membayar denda dua kali lipatnya.
Cerita bermula saat Marovitz memborong 9.000 lembar saham playboy. Aksi ini didorong informasi yang menyatakan bahwa sebagian saham Playboy Enterprise International Inc  akan dibeli oleh Iconic Drad Group Inc. Dan benar, dua hari kemudian harga saham playboy naik 42 %. Informasi tersebut berasal dari sang isteri sendiri yang sekaligus pengelola perusahaan. 
Kemudian Marovitz berhasil menjual 23.752 lembar saham playboy sesaat setelah isterinya menerima e-mail dari Iconic yang mengatakan tidak mau berbicara lagi tentang akusisi playboy alias batal. Esok harinya, harga saham playboy turun 10 %. Terhindarlah si Marovitz ini dari kerugian.
Badan otoritas memberi sanksi bagi Marovitz yang memanfaatkan informasi dari orang dalam, karena aturan pasar modal jelas-jelas menyebutkan bahwa transaksi saham harus berdasar informasi publik, yakni informasi yang telah diumumkan secara resmi oleh perusahaan dan diterima semua orang.
Denda  dua kali lipat seperti yang dijatuhkan kepada Marovitz tentu akan membikin orang menjadi berpikir ulang kali untuk berbuat jahat. Suatu negara akan menjadi ‘surga’ bagi pelaku kejahatan jika pelaku begitu mudah menghindari hukuman dan apabila harus terjerat juga maka sanksinya sangatlah ringan. Sanksi yang tak membuat jera. Bahkan sering juga ditambah bonus besar: REMISI.
Jadi, omong kosong dengan pertumbuhan ekonomi, pendapatan (GDP) meningkat, inflasi sesuai ekpektasi dan pengangguran turun jika pembangunan institusi negara terabaikan. Para ekonom sepakat bahwa pemerintahan yang kredibel dengan penegakan hukum yang kuat merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang utama.
Mengapa banyak modal mengalirnya ke negara-negara kaya yang surplus, bukan negara-negara miskin yang masih kekurangan modal?  Walau secara matematis dengan rumusan marginalnya, negara yang kekurangan modal akan memberi return yang lebih baik dibanding dengan negara dengan modal berlimpah?
Jawabannya adalah karena negara-negara miskin mempunyai pemerintahan yang tak berwibawa, terutama hukumya. Negara juga tidak mampu memberi garansi akan amannya suatu modal untuk ditanamkan. Selain tentu saja, variabel teknologi.
Kleptocracy memang serba susah. Baik dari sisi kaum klasik maupun keynessian. Karena bagi kaum klasik yang mempercayai invisible hand,  pasar akan selalu mampu menemukan keseimbangannya sendiri, dengan syarat keluwesan harga dan penihilan variabel-variabel pengganggu untuk mencapai equlibrium. Disini, kleptocracy hanya akan menjadi benalu atau tangan yang merampok, bukan tangan yang menolong.
Di sisi lain, keynessian mensyaratkan campur tangan pemerintah agar pasar cepat menemukan titik keseimbangan barunya, karena dalam jangka pendek, harga sangatlah kaku (rigid/sticky). Sementara sekali lagi, dalam kleptocracy, apa yang bisa diandalkan dari peran pemerintah? Modal bukannya bertambah, bisa-bisa malah menyusut.
Padahal jauh di abad 18, Adam Smith, ekonom besar dan penggagas ekonomi liberal/klasik bilang bahwa jika suatu negara ingin hijrah dari tingkatan barbar menuju kemakmuran tertinggi, syaratnya hanyalah tiga, yakni perdamaian, pajak yang rasional dan penegakan hukum. Syarat lainnya akan terselesaikan secara alamiah...”.
Mudah memang, tetapi sayang, banyak negara masih sulit mewujudkannya.
 Jika Anda dan negeri Anda salah satunya, bisa diartikan, negeri Anda lebih tabu, lebih berdosa dan lebih absurd dibandingkan dengan negeri playboy bahkan dibandingkan dengan majalah playboy.
Ya? Atau bukan?

Selasa, 11 Oktober 2011

Inflasi

Pelajaran ekonomi di sekolah mendefinisikan inflasi sebagai keadaan perekonomian dimana-mana harga-harga barang dan jasa cenderung meningkat. Ini berarti pula bahwa nilai uang yang kita miliki secara riil mengalami penurunan. Inflasi sendiri merupakan salah satu variabel yang menjadi bahasan utama dalam perekonomian makro, selain PDB (atau Pendapatan Nasional) dan tingkat pengangguran.
Mungkin kita kurang menyadari bahwa inflasi juga bentuk lain dari pajak negara tanpa UU, yakni sebesar nilai penyusutan uang tersebut. Jadi negara bisa meningkatkan ‘penghasilan semu’ dengan mencetak uang, yang biasa disebut seigniorage.  
Bagi pengusaha, inflasi menjadi instrumen pemotong upah dan gaji. Ketika pengusaha merasa bahwa tingkat upah dan gaji karyawannya terlalu tinggi, tentu kurang elegan untuk mengurangi nominalnya. Kombinasi dari pengusah yang segan dan karyawannya enggan, maka biarlah inflasi yang melakukannya.

Itu inflasi di dunia ekonomi. Sekarang kita berpindah ke dunia lain. Ternyata inflasi bisa juga menyerang pemaknaan kita terhadap suatu istilah. Kata-kata tertentu telah mengalami pengurangan nilai dari yang semestinya. Seperti di bawah ini:
Syirik.
Definisi secara bebas untuk syirik adalah perbuatan memposisikan mahluk sebagai Tuhan. Dengan kalimat lain adalah meningkatkan status mahluk menjadi Tuhan. Namun makna sekarang menjadi seakan-akan menyekutukan Tuhan hanya sebatas secara fisik. Sebatas bentuk animisme, dinamisme, dan berhala-berhala lain. Kita sering lupa bahwa memberhalakan pendapat atau tafsir tertentu juga merupakan bentuk lain dari syirik.
Jihad.
Terorisme dan bom bunuh diri merupakan bentuk penyempitan makna jihad. Jihad hanya berkutat dengan kebencian dan darah. Nampaknya jihad telah terhiperinflasi. Padahal menurut Nabi, ada jihad yang lebih besar dari perang Badar, yaitu jihad melawn hawa nafsu. Perang badar sendiri adalah perang yang sangat penting. Andai saat itu pasukan Nabi kalah dan Madinah bisa dikuasai lawan, sejarah akan jauh berbeda dari sekarang.
Jihad harusnya bisa sangat luas. Segala sesuatu yang diusahakan untuk meningkatkan kemanfaatan dan makna hidup, itulah jihad. Bekerja untuk menafkahi keluarga, belajar, mengajar, memimpin, usaha-usaha mengentaskan kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan menjaga kelestarian ekologi, dll adalah bentuk-bentuk jihad.
Silaturahmi.
Silaturahmi sekarang ini hanya sebatas saling mengunjung saat lebaran. Seharusnya silaturahmi adalah menyambung kasih sayang sebenar-benar kasih sayang. Seperti yang telah kita singgung di judul lainnya di blog ini, begitu dahsyatnya efek kasih sayang (rohmah). Simpati, empati, berbagi kebahagiaan tanpa iri, dengki, hasud dll.
Inna lillaah wa innaa ilaihi rooji’uun.
Kalimat yang ini sudah dimonopoli hanya saat mendengar kematian. Sebenarnya idiom ini penting untuk menset diri agar selalu ingat akan asal hidup dan tujuannya. Bahwa hidup manusia hanyalah untuk kembali kepada dekapan Ilahi. Untuk selalu menjaga fitrah dan sejalan dengan modal dari Tuhan berupa nurani. Inna lillaah wa innaa ilaihi rooji’uun menumbuhkan sifat-sifat positif dan menjaga hati agar selalu mereguk nikmat kebahagiaan.

Tentu saja anda juga bisa menambah kata-kata lain terinflasi yang sudah ‘membumi’ di sekitar kita.

Kafir


Pertama, Gus Dur pernah bilang bahwa kitab suci menyebut kafir hanya kepada quraisy disamping musyrik, sedang ke kaum nasrani dan yahudi sebagai ahli kitab dan juga musyrik.
Kedua, pemahaman kita tentang kafir biasanya  juga diseberangkan dengan iman atau islam. Namun surah Al baqoroh ayat 34 menyebut Iblis sebagai yang termasuk kafir. Abaa wastakbaro wa kaana minal kaafiriin, artinya: Iblis membangkang dan menjadi sombong dan karena itu termasuk yang kafir. Keterangan menyebutkan bahwa jauh sebelum Adam, manusia pertama diciptakan, Iblis disebutkan sebagai mahluk beriman dan ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun. Keimanan Iblis juga dapat kita simak lewat dialognya dengan Tuhan tatkala disuruh menghormati Adam (QS. 7: 11-12)  dan dialog saat iblis bertekad menyesatkan manusia di dunia.
Sampai di sini seperti ada kontradiksi dalam memahami kekafiran. Iblis adalah mahluk beriman tetapi dicap kafir oleh Allah. Di sisi lain banyak yang berpandangan bahwa kafir adalah bukan islam (dan, atau iman), seperti jika sedang membahas kemurtadan yang didefiniskan dengan keluar dari islam (dan tentunya iman).
Secara sederhana bisa diartikan bahwa kafir bisa disematkan kepada orang yang beriman ataupun tidak dan karena orang nasrani dan yahudi tidak disebut kafir, maka kafir lebih berkonotasi sebagai pengingkaran terhadap sesuatu yang sesuatu itu tidak berhubungan dengan keimanan.
Sedang istilah riddah  atau murtad seperti yang disinggung di atas, kita ‘netralkan’ dengan pendapat Cak Nur bahwa murtad yang terjadi di zaman Rosululloh SAW dan para sahabat lebih diartikan sebagai desersi yang juga tidak sampai berhubungan dengan agama. Desersi berarti keluar dari barisan perjuangan menegakkan komunitas dari kehancuran akibat peperangan. Maka setiap anggota komunitas madinah adalah tentara sehingga jika ia desersi, perlu dihukum berat agar tidak terjadi efek melemahkan semangat perjuangan. Hal ini berlaku baik itu bagi kaum anshar, muhajirin maupun yahudi, dan komunitas madinah lainnya.
Sementara itu, argumentasi Cak Nur tentang riddah bisa kita lihat dibangun dari semangat kebebasan beragama seperti “laa ikrooha fiddddin qod tabayyan arrusydu min alghoyyi...” (tidak ada paksaan dalam beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat....QS.2:256), “Walausyaa-a robbuka la aamana man fi al ardli kulluhum jamii’aa.Afaanta tukrihu annaasa hattaa yakuunu mukminiin..” (Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?QS.10:99), “lakum diinukum waliyadiin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku QS.109:6),  juga dari Sabda Nabi yang mengatakan bahwa beliau tidak disuruh untuk membelah dada manusia.
Juga kekafiran atau pengingkaran bisa saja menghinggapi orang beriman seperti dapat kita simak dalam firmanNya yang berbunyi: “la_in syakartum la_aziidannakum wa la_in kafartum inna ‘adzaabii lasaydiid”, artinya: Bersyukurlah, niscaya akan ku tambah nikmatnya, dan ingkarilah, sesungguhnya ‘adzabku sangat pedih.
Terakhir, salah satu ciri penting orang kafir adalah tidak adanya saling cinta kasih sesama manusia. Kali ini kafir berseberangan dengan rahmah..

Lalu, seberapa kafirkah kita?

Senin, 10 Oktober 2011

Emas Tak Lagi Berkilau


Pelajaran di MI (setingkat SD), fikih (hukum agama) melarang anak laki-laki tidak boleh beraksesoris yang berbahan emas, sedang anak perempuan diperbolehkan. Mengapa? Nah itu yang belum tahu. Perlu pelajaran lebih tinggi. Mungkin lewat ushul nya.
Sekarang yang sedikit tahu adalah tentang bagaimana penambangan emas mempunyai sisi-sisi gelap, seperti penuturan Siti Maemunah, aktivis LH dan penulis produktif kepada kompas, 9-10-2011. 
Dia mengatakan bahwa untuk memperoleh 1 gram emas maka akan dibuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing, 5,8 kilogram emisi beracun, termasuk 260 gram timbal, 6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida yang diwariskan kepada penduduk lokal dan lingkungan sekitar.
Seberapa jauh dampak kerusakannya? Berikut diuraikan bahaya-bahayanya yang diambil dari beberapa sumber (www.kamusilmiah.com, www.jatam.org, www.bgl.esdm.go, www.science.org.au):


Tentang arsen.
Air minum yang mengandung arsen apabila melebihi nilai ambang batas, dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia, yakni berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.
Tentang Merkuri.
Merkuri membahayakan kesehatan manusia apabila unsur merkuri dalam badan air berubah secara kimia menjadi senyawa metil-merkuri. Terdapat aneka jenis mekanisma oleh mikro organisma yang dapat membentuk spesies metil merkuri menjadi racun, terutama apabila dimakan oleh ikan. Pengaruh merkuri organik bisa menghambat jalan darah ke otak dan gangguan metabolisme dari sistem syaraf. Merkuri non organik merusak fungsi ginjal dan hati.
Tentang Timbal.
Timbal adalah unsur yang bersifat racun kumulatif. Penyerapan unsur yang melebihi nilai ambang batas akan mengikat secara kuat sejumlah molekul asam amino, hemoglobin (Hg), enzim, RNA dan DNA. Hal ini akan mengarah kepada kerusakan saluran metabolik, hipertensi darah, hiperaktif dan kerusakan otak.
Tentang Sianida.
Sianida seukuran biji beras saja, bisa berakibat fatal bagi manusia. Sepersejuta gram sianida dalam seliter air bisa fatal bagi ikan. Sianida juga bisa menghambat kerja enzim tertentu di dalam sel, mengganggu penggunaan oksigen oleh sel dan dapat menyebabkan kematian sel. Pada dosis tertentu dapat membunuh manusia dalam waktu 15 menit saja akibat kekurangan oksigen.
Banyak pengalaman menjelaskan bahwa tak pernah ada perusahaan yang berhasil menghindari kebocoran air  dan limbah yang mengandung sianida ke ekosistem.
Amerika dan Kanada pun sudah melarang pengunaan sianida sejak lama.
Telah banyak saudara-saudara kita menderita akibat pembuangan limbah penambangan emas yang kurang sempurna.

Dengan sekelumit bahasan di atas, masih terasa berkilaukah emas milik kita?

NB:
Karya buku Siti Maemunah, diantaranya:
Petaka Pembuangan Tailing ke Laut (2011);
Mengeruk Emas Menebar Bencana (2002);
Menambang Petaka di Meru Betiri (2002);
Indonesia Bangkrut, Negara Disandera Pemodal dan Birokrasi Korup (2005);
Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa Menjajah Indonesia (2006);
Pertambangan dan Pelanggaran HAM (2007);
Pertambangan dan Perusakan Lingkungan (2007);
Mautnya Batubara: Pengerukan Batubara dan Generasi Suram Kalimantan (2010);
Membaca Jejak Perubahan Iklim (2010);
Keadilan Gender dan Keadilan Iklim (2011).