Pertama, Gus Dur pernah bilang bahwa kitab suci menyebut kafir hanya kepada quraisy disamping musyrik, sedang ke kaum nasrani dan
yahudi sebagai ahli kitab dan juga musyrik.
Kedua, pemahaman kita tentang kafir biasanya juga diseberangkan
dengan iman atau islam. Namun surah Al baqoroh ayat 34 menyebut Iblis sebagai yang
termasuk kafir. Abaa wastakbaro wa kaana minal kaafiriin, artinya: Iblis
membangkang dan menjadi sombong dan karena itu termasuk yang kafir. Keterangan menyebutkan bahwa jauh
sebelum Adam, manusia pertama diciptakan, Iblis disebutkan sebagai mahluk
beriman dan ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun. Keimanan Iblis juga dapat
kita simak lewat dialognya dengan Tuhan tatkala disuruh menghormati Adam (QS.
7: 11-12) dan dialog saat iblis bertekad
menyesatkan manusia di dunia.
Sampai di sini seperti ada kontradiksi dalam memahami kekafiran. Iblis adalah mahluk beriman
tetapi dicap kafir oleh Allah. Di
sisi lain banyak yang berpandangan bahwa kafir
adalah bukan islam (dan, atau iman),
seperti jika sedang membahas kemurtadan yang didefiniskan dengan keluar dari islam (dan tentunya iman).
Secara sederhana bisa
diartikan bahwa kafir bisa disematkan
kepada orang yang beriman ataupun tidak dan karena orang nasrani dan yahudi
tidak disebut kafir, maka kafir lebih berkonotasi sebagai
pengingkaran terhadap sesuatu yang sesuatu itu tidak berhubungan dengan keimanan.
Sedang istilah riddah
atau murtad seperti yang disinggung di atas, kita ‘netralkan’ dengan pendapat
Cak Nur bahwa murtad yang terjadi di zaman Rosululloh SAW dan para sahabat
lebih diartikan sebagai desersi yang juga tidak sampai berhubungan dengan agama.
Desersi berarti keluar dari barisan perjuangan menegakkan komunitas dari
kehancuran akibat peperangan. Maka setiap anggota komunitas madinah adalah
tentara sehingga jika ia desersi, perlu dihukum berat agar tidak terjadi efek
melemahkan semangat perjuangan. Hal ini berlaku baik itu bagi kaum anshar, muhajirin
maupun yahudi, dan komunitas madinah lainnya.
Sementara itu, argumentasi Cak Nur tentang riddah bisa kita lihat dibangun dari semangat kebebasan beragama
seperti “laa ikrooha fiddddin qod
tabayyan arrusydu min alghoyyi...” (tidak ada paksaan dalam beragama,
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat....QS.2:256), “Walausyaa-a robbuka la aamana man fi al
ardli kulluhum jamii’aa.Afaanta tukrihu annaasa hattaa yakuunu mukminiin..” (Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi
seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang beriman semuanya?QS.10:99), “lakum
diinukum waliyadiin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku QS.109:6), juga dari Sabda Nabi yang mengatakan bahwa beliau
tidak disuruh untuk membelah dada manusia.
Juga kekafiran atau pengingkaran bisa saja menghinggapi
orang beriman seperti dapat kita simak dalam firmanNya yang berbunyi: “la_in syakartum la_aziidannakum wa la_in
kafartum inna ‘adzaabii lasaydiid”, artinya: Bersyukurlah, niscaya akan ku
tambah nikmatnya, dan ingkarilah, sesungguhnya ‘adzabku sangat pedih.
Terakhir, salah satu ciri penting orang
kafir adalah tidak adanya saling cinta kasih sesama manusia. Kali ini kafir berseberangan dengan rahmah..
Lalu, seberapa kafirkah kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar