Selasa, 11 Oktober 2011

Kafir


Pertama, Gus Dur pernah bilang bahwa kitab suci menyebut kafir hanya kepada quraisy disamping musyrik, sedang ke kaum nasrani dan yahudi sebagai ahli kitab dan juga musyrik.
Kedua, pemahaman kita tentang kafir biasanya  juga diseberangkan dengan iman atau islam. Namun surah Al baqoroh ayat 34 menyebut Iblis sebagai yang termasuk kafir. Abaa wastakbaro wa kaana minal kaafiriin, artinya: Iblis membangkang dan menjadi sombong dan karena itu termasuk yang kafir. Keterangan menyebutkan bahwa jauh sebelum Adam, manusia pertama diciptakan, Iblis disebutkan sebagai mahluk beriman dan ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun. Keimanan Iblis juga dapat kita simak lewat dialognya dengan Tuhan tatkala disuruh menghormati Adam (QS. 7: 11-12)  dan dialog saat iblis bertekad menyesatkan manusia di dunia.
Sampai di sini seperti ada kontradiksi dalam memahami kekafiran. Iblis adalah mahluk beriman tetapi dicap kafir oleh Allah. Di sisi lain banyak yang berpandangan bahwa kafir adalah bukan islam (dan, atau iman), seperti jika sedang membahas kemurtadan yang didefiniskan dengan keluar dari islam (dan tentunya iman).
Secara sederhana bisa diartikan bahwa kafir bisa disematkan kepada orang yang beriman ataupun tidak dan karena orang nasrani dan yahudi tidak disebut kafir, maka kafir lebih berkonotasi sebagai pengingkaran terhadap sesuatu yang sesuatu itu tidak berhubungan dengan keimanan.
Sedang istilah riddah  atau murtad seperti yang disinggung di atas, kita ‘netralkan’ dengan pendapat Cak Nur bahwa murtad yang terjadi di zaman Rosululloh SAW dan para sahabat lebih diartikan sebagai desersi yang juga tidak sampai berhubungan dengan agama. Desersi berarti keluar dari barisan perjuangan menegakkan komunitas dari kehancuran akibat peperangan. Maka setiap anggota komunitas madinah adalah tentara sehingga jika ia desersi, perlu dihukum berat agar tidak terjadi efek melemahkan semangat perjuangan. Hal ini berlaku baik itu bagi kaum anshar, muhajirin maupun yahudi, dan komunitas madinah lainnya.
Sementara itu, argumentasi Cak Nur tentang riddah bisa kita lihat dibangun dari semangat kebebasan beragama seperti “laa ikrooha fiddddin qod tabayyan arrusydu min alghoyyi...” (tidak ada paksaan dalam beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat....QS.2:256), “Walausyaa-a robbuka la aamana man fi al ardli kulluhum jamii’aa.Afaanta tukrihu annaasa hattaa yakuunu mukminiin..” (Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?QS.10:99), “lakum diinukum waliyadiin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku QS.109:6),  juga dari Sabda Nabi yang mengatakan bahwa beliau tidak disuruh untuk membelah dada manusia.
Juga kekafiran atau pengingkaran bisa saja menghinggapi orang beriman seperti dapat kita simak dalam firmanNya yang berbunyi: “la_in syakartum la_aziidannakum wa la_in kafartum inna ‘adzaabii lasaydiid”, artinya: Bersyukurlah, niscaya akan ku tambah nikmatnya, dan ingkarilah, sesungguhnya ‘adzabku sangat pedih.
Terakhir, salah satu ciri penting orang kafir adalah tidak adanya saling cinta kasih sesama manusia. Kali ini kafir berseberangan dengan rahmah..

Lalu, seberapa kafirkah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar