Pelajaran ekonomi di sekolah
mendefinisikan inflasi sebagai keadaan perekonomian dimana-mana harga-harga barang dan jasa
cenderung meningkat. Ini berarti pula bahwa nilai uang yang kita miliki secara
riil mengalami penurunan. Inflasi sendiri merupakan salah satu variabel yang
menjadi bahasan utama dalam perekonomian makro, selain PDB (atau Pendapatan
Nasional) dan tingkat pengangguran.
Mungkin kita kurang menyadari bahwa inflasi juga bentuk lain
dari pajak negara tanpa UU, yakni sebesar nilai penyusutan uang tersebut. Jadi
negara bisa meningkatkan ‘penghasilan semu’ dengan mencetak uang, yang biasa
disebut seigniorage.
Bagi pengusaha, inflasi menjadi instrumen pemotong upah dan
gaji. Ketika pengusaha merasa bahwa tingkat upah dan gaji karyawannya terlalu
tinggi, tentu kurang elegan untuk mengurangi nominalnya. Kombinasi dari pengusah
yang segan dan karyawannya enggan, maka biarlah inflasi yang melakukannya.
Itu inflasi di dunia ekonomi. Sekarang kita berpindah ke dunia
lain. Ternyata inflasi bisa juga menyerang pemaknaan kita terhadap suatu istilah.
Kata-kata tertentu telah mengalami pengurangan nilai dari yang semestinya.
Seperti di bawah ini:
Syirik.
Definisi secara bebas untuk syirik adalah perbuatan memposisikan mahluk sebagai Tuhan. Dengan
kalimat lain adalah meningkatkan status mahluk menjadi Tuhan. Namun makna
sekarang menjadi seakan-akan menyekutukan Tuhan hanya sebatas secara fisik.
Sebatas bentuk animisme, dinamisme, dan berhala-berhala lain. Kita sering lupa
bahwa memberhalakan pendapat atau tafsir tertentu juga merupakan bentuk lain
dari syirik.
Jihad.
Terorisme dan bom bunuh diri merupakan bentuk penyempitan
makna jihad. Jihad hanya berkutat dengan kebencian dan darah. Nampaknya jihad
telah terhiperinflasi. Padahal menurut Nabi, ada jihad yang lebih besar dari perang Badar, yaitu jihad melawn hawa nafsu. Perang badar sendiri
adalah perang yang sangat penting. Andai saat itu pasukan Nabi kalah dan
Madinah bisa dikuasai lawan, sejarah akan jauh berbeda dari sekarang.
Jihad harusnya
bisa sangat luas. Segala sesuatu yang diusahakan untuk meningkatkan kemanfaatan
dan makna hidup, itulah jihad.
Bekerja untuk menafkahi keluarga, belajar, mengajar, memimpin, usaha-usaha
mengentaskan kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan menjaga kelestarian
ekologi, dll adalah bentuk-bentuk jihad.
Silaturahmi.
Silaturahmi
sekarang ini hanya sebatas saling mengunjung saat lebaran. Seharusnya
silaturahmi adalah menyambung kasih sayang sebenar-benar kasih sayang. Seperti
yang telah kita singgung di judul lainnya di blog ini, begitu dahsyatnya efek kasih
sayang (rohmah). Simpati, empati,
berbagi kebahagiaan tanpa iri, dengki, hasud
dll.
Inna lillaah wa innaa
ilaihi rooji’uun.
Kalimat yang ini sudah dimonopoli hanya saat mendengar
kematian. Sebenarnya idiom ini penting untuk menset diri agar selalu ingat akan asal hidup dan tujuannya. Bahwa
hidup manusia hanyalah untuk kembali kepada dekapan Ilahi. Untuk selalu menjaga
fitrah dan sejalan dengan modal dari Tuhan berupa nurani. Inna lillaah wa innaa ilaihi rooji’uun menumbuhkan sifat-sifat
positif dan menjaga hati agar selalu mereguk nikmat kebahagiaan.
Tentu saja anda juga bisa menambah kata-kata lain terinflasi yang sudah
‘membumi’ di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar