Minggu, 23 Oktober 2011

Negeri Playboy

Playboy, kita tahu adalah majalah porno terkenal dengan tampilan perempuan-perempuan, yang dalam bahasa agama dan norma ketimuran merupakan sesuatu yang dilarang dan tabu.
Ada  sekelumit cerita dari GATRA edisi agustus 2011 yang berhubungan dengan majalah ini, yakni tentang sepak terjang menantu pendiri playboy. Namanya William A Marovitz. Ia terbukti bersalah melakukan insider trading ketika melakukan aksi jual beli saham Playboy Enterprise International Inc  yang membawahi majalah bersimbol kepala kelinci tersebut. Meraup untung sekitar US $ 100.000, tetapi harus membayar denda dua kali lipatnya.
Cerita bermula saat Marovitz memborong 9.000 lembar saham playboy. Aksi ini didorong informasi yang menyatakan bahwa sebagian saham Playboy Enterprise International Inc  akan dibeli oleh Iconic Drad Group Inc. Dan benar, dua hari kemudian harga saham playboy naik 42 %. Informasi tersebut berasal dari sang isteri sendiri yang sekaligus pengelola perusahaan. 
Kemudian Marovitz berhasil menjual 23.752 lembar saham playboy sesaat setelah isterinya menerima e-mail dari Iconic yang mengatakan tidak mau berbicara lagi tentang akusisi playboy alias batal. Esok harinya, harga saham playboy turun 10 %. Terhindarlah si Marovitz ini dari kerugian.
Badan otoritas memberi sanksi bagi Marovitz yang memanfaatkan informasi dari orang dalam, karena aturan pasar modal jelas-jelas menyebutkan bahwa transaksi saham harus berdasar informasi publik, yakni informasi yang telah diumumkan secara resmi oleh perusahaan dan diterima semua orang.
Denda  dua kali lipat seperti yang dijatuhkan kepada Marovitz tentu akan membikin orang menjadi berpikir ulang kali untuk berbuat jahat. Suatu negara akan menjadi ‘surga’ bagi pelaku kejahatan jika pelaku begitu mudah menghindari hukuman dan apabila harus terjerat juga maka sanksinya sangatlah ringan. Sanksi yang tak membuat jera. Bahkan sering juga ditambah bonus besar: REMISI.
Jadi, omong kosong dengan pertumbuhan ekonomi, pendapatan (GDP) meningkat, inflasi sesuai ekpektasi dan pengangguran turun jika pembangunan institusi negara terabaikan. Para ekonom sepakat bahwa pemerintahan yang kredibel dengan penegakan hukum yang kuat merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang utama.
Mengapa banyak modal mengalirnya ke negara-negara kaya yang surplus, bukan negara-negara miskin yang masih kekurangan modal?  Walau secara matematis dengan rumusan marginalnya, negara yang kekurangan modal akan memberi return yang lebih baik dibanding dengan negara dengan modal berlimpah?
Jawabannya adalah karena negara-negara miskin mempunyai pemerintahan yang tak berwibawa, terutama hukumya. Negara juga tidak mampu memberi garansi akan amannya suatu modal untuk ditanamkan. Selain tentu saja, variabel teknologi.
Kleptocracy memang serba susah. Baik dari sisi kaum klasik maupun keynessian. Karena bagi kaum klasik yang mempercayai invisible hand,  pasar akan selalu mampu menemukan keseimbangannya sendiri, dengan syarat keluwesan harga dan penihilan variabel-variabel pengganggu untuk mencapai equlibrium. Disini, kleptocracy hanya akan menjadi benalu atau tangan yang merampok, bukan tangan yang menolong.
Di sisi lain, keynessian mensyaratkan campur tangan pemerintah agar pasar cepat menemukan titik keseimbangan barunya, karena dalam jangka pendek, harga sangatlah kaku (rigid/sticky). Sementara sekali lagi, dalam kleptocracy, apa yang bisa diandalkan dari peran pemerintah? Modal bukannya bertambah, bisa-bisa malah menyusut.
Padahal jauh di abad 18, Adam Smith, ekonom besar dan penggagas ekonomi liberal/klasik bilang bahwa jika suatu negara ingin hijrah dari tingkatan barbar menuju kemakmuran tertinggi, syaratnya hanyalah tiga, yakni perdamaian, pajak yang rasional dan penegakan hukum. Syarat lainnya akan terselesaikan secara alamiah...”.
Mudah memang, tetapi sayang, banyak negara masih sulit mewujudkannya.
 Jika Anda dan negeri Anda salah satunya, bisa diartikan, negeri Anda lebih tabu, lebih berdosa dan lebih absurd dibandingkan dengan negeri playboy bahkan dibandingkan dengan majalah playboy.
Ya? Atau bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar