Kamis, 25 Agustus 2011

Hidangan Jiwa

Hati (qolbu) adalah episentrum kebahagiaan. Maka dari itu agama sangat fokus terhadap kesehatan hati. Rosulullloh dalam hadits terkenal: “satu ‘unsur’ dalam manusia, yang kalau dia baik, maka semua akan baik, dan sebaliknya.... dialah qolbu. “ Maka sangat penting untuk mengelola hati agar tetap bersinar (nurani) dan  tidak gelap (dhulmani), berpenyakit.  Menjaga hati untuk istiqomah dalam syukur, sabar dan ihlas. Juga menjaga hati untuk tidak sombong, iri, dengki, hasud , dll.

Di bawah ini sedikit ‘trik’ agar hati tak berpenyakit:

Konsep: Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Segala yang meliputi langit dan bumi semua milik Allah dan manusia akan kembali kepadaNya. Manusia bukan pemilik sejati. Begitu mudahnya Allah untuk memberi, mengurangi bahkan mencabut kepemilikan semu tersebut. Bahkan nyawa sekalipun dapat sewaktu-waktu bisa kembali ke pemilik sebenarnya.
Peristiwa-peristiwa alam yang dramatis seperti gempa bumi, tsunami dan tornado cukup sebagai pelajaran. Walau secara ruhani, manusia adalah mahluk dengan sebagus-bagus penciptaan (Ahsani taqwiim), tetapi secara fisik, manusia begitu kecil dibanding alam semesta.

Tuhan lebih menilai usaha kita daripada hasil yang tercapai. Manusia berperan sebagai pelaku yang mengusahakan sesuatu sampai maksimal sedangkan hasilnya bisa tercapai semuanya, sebagian ataukah gagal, merupakan domain Tuhan. Bahasa agamanya: ihitiar dibarengi dengan tawakkal.
Setiap hari manusia bekerja, berkeringat, memeras otak sebagai ihitiar. Hasilnya bisa berbeda-beda sesuai kompetensi. Ada pengayuh becak (yang di negara tertentu dianggap kurang manusiawi) yang berpenghasilan Rp. 20.000, ada ‘manajer Rp. 1 Milyar’. Tapi tentu Tuhan lebih menghargai petani dengan ratusan ribu per bulan daripada pengusaha hitam, politikus busuk, ataupun birokrat jahat dengan juta-milyar per hari.
Demikian pula kita akan melihat kekayaan seseorang linier dengan kerja kerasnya. Kalau melihat kesuksesan dengan aset berlimpah, bayangan yang  tertanam adalah bukan besarnya kekayaan tetapi lebih kepada kerja keras fisik dan mental, dari proses menjadi pintar, ketekunan, keuletan hingga terbentuk jiwa enterpreneurship dengan pribadi yang tegar.
Hidup takkan lepas dari persaingan. Dan dalam idiom agama ada "fastabiqul khoirot". Berlomba-lomba dalam kebaikan. Jadi kalau pedagang dengan usaha yang maksimal, seperti harga yang bersaing,  pelayanan prima dll,  tentu tetap dalam koridor etika. Menjual dengan hati, kata Hermawan Kertajaya, pakar marketing.
Selain itu tujuan berdagang adalah mencoba menyediakan barang yang dibutuhkan. Kalau konsumen telah mendapatkannya dari outlet lain yang lebih dekat, misalnya, tentu tidak masalah dan “rizki sudah ada yang mengatur,” kata banyak orang.

Perbanyak sedekah. Bukan mengharap agar Allah memberi imbal balik lebih banyak tetapi melatih jiwa untuk menjaga jarak dengan dunia. “Sombong itu boleh, kalau sombongnya terhadap dunia” Kata Emha AN. Karena segala kesusahan berpangkal dari hubbu dunya (cinta dunia). Hadits Nabi: “Akan tercabut kehebatan Islam (kehidupan, kebahagiaan) kalau umatku lebih cinta dunia daripada cinta TuhanNya..”

Kebahagiaan seseorang adalah kebahagiaan semua orang, dan sebaliknya.. Simpati dan empati akan mendorong solidaritas sesama manusia. Sebagai mahluk sosial yang hidup dalam satu rantai yang berhubungan dan berkaitan, secara logika, kebahagiaan dan kesedihan satu anggota akan berdampak yang sama terhadap seluruh komunitas. Contohnya, kalau ada anggota yang miskin dan pengangguran maka akan berpotensi kepada ketidakamanan lingkungan.  Atau jika lingkungan kita makmur seperti petani yang panen raya, atau nelayan dengan tangkapan yang melimpah, tentu pasar menjadi ramai dengan harga-harga komoditas yang terjangkau.
Apalagi kalau sudah ke kebijakan anggaran negara, semakin makmur negara dengan penerimaaan  yang mumpuni, maka proyek kesejahteraan bersama akan mudah diwujudkan.

Berpikir panjang. Walal akhirotu khoirun wa abqo.. berpikir logis dengan mengesampingkan prasangka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar