Sabtu, 27 Agustus 2011

Munggah neroko, nyemplung suargo

Munggah suarga, nyemplung neroko”. Ungkapan dalam bahasa jawa ini, menurut Cak Nur, menunjukkan pencapaian surga terasa lebih berat ketimbang terjerumus ke Neraka. Pilihan kata munggah atau naik (memanjat) untuk mencapai kenikmatan hidup memerlukan usaha yang sangat kuat, sedang nyemplung atau terjun sangatlah ringan dan mudah. Kalau dihadapan kita ada sebuah jurang maka kaki hanya perlu melangkah untuk jatuh.
Benarkah?
Syahdan, ketika ruh ‘ditiupkan’ Allah, ada nurani  dengan keimanan penuhnya dan nafsu yang baru benar-benar iman setelah melalui tahap penempaan. Sehingga sebenarnya nurani yang fitri bisa membimbing manusia selalu menuju kebaikan. Ingat Hadits Nabi terkenal: “ Istafti Qolbak walau aftakannas”.
Karena manusia mempunyai banyak kelemahan, dan bisa jadi nuraninya tertutupi berbagai hal termasuk oleh kepentingan egonya, maka Tuhan juga melengkapinya dengan agama lewat nabi dan kewahyuan. Agama juga semacam akselerator agar manusia lebih cepat mengenali kebenaran dan kebaikan. Sedang orangnya, yakni Rosulullah SAW bisa sebagai teladan yang riil bagi umatnya.
Dengan selalu ta’at pada nurani, kehidupan manusia akan dipenuhi kedamaian. Manusia yang pada dasaranya baik, hatinya akan selalu condong kepada kebaikan. Hatinya yang selalu damai dengan syukur, sabar, dan ihlas. Hati yang bersinar mewujud pada tingkah laku yang bagus (hasanah), mencontoh ahlak Tuhannya.
Sementara hawa nafsu dalam diri manusia selalu menggoda dan mengajak berpaling dari kata hati (nurani). Ibaratnya, nafsu mencoba agar manusia menyimpang dari jalan yang lurus (Shirothol mustaqim). Dengan iming-iming ‘kenikmatan semu’ lewat harta, kekuasaan, seks, gengsi, citra, dll. Maka muncullah berbagai macam jenis kemaksiatan.
Maka ‘munggah suarga’ merupakan usaha istiqomah untuk mengendalikan hawa nafsu yang Rosulullah SAW menyebutnya sebagai jihad  dan  suatu yang berat melebihi perang fisik. Sedang ‘nyemplung neroko’ sebagai lambang memperturutkan hawa nafsu yang terasa ‘lebih enteng’ dan ‘nikmat’.
Produk nurani adalah kenikmatan sejati, sedang produk hawa nafsu adalah kesengsaraan dan penderitaan, baik diri sendiri maupun orang lain. Dan sebenarnya lebih murah, logis dan membahagiakan untuk ta’at kepada nurani daripada kepada hawa nafsu, “munggah neroko, nyemplung suarga”.
Menyitir Rhoma Irama lewat syairnya: Jalan ke surga lebih murah..  Sholat gratis..... Zakat dan haji hanya bagi yang mampu... Sedang maksiat harus bayar...
Dan dari Iwan Fals: Keinginan (hawa nafsu) adalah sumber penderitaan......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar