Sabtu, 27 Agustus 2011

Hukum Tuhan


“Indonesia adalah negara kafir karena tidak melaksanakan hukum Allah”, begitu ustadz yang satu ini berujar. Mungkin yang dimaksud adalah hukum-hukum yang sanksinya termaktub dalam nash-nsah alkitab atau lewat fikih, seperti cambuk, potong tangan, pancung, rajam, qishosh, dll. Kalau benar itu yang dimaksud, memang hukum negeri ini banyak mengadopsi hukum kolonial: di KUH Perdata (BW, Burgelegh Wetbook) dan KUH Pidana.
Ustadz lainnya meragukan aplikasi “hukum islam” ini karena misalnya yang akan dipakai versi fikih siapa dan yang mana, karena begitu banyak versi kompilasi hukum islam. Argumen lainnya mengapa “hukum islam” tak wajib diterapkan adalah bahwa hukum yang dibutuhkan ada pada semangatnya, yakni sanksi atas suatu kejahatan adalah timbulnya efek jera bagi pelakunya. Jadi sebenarnya sanksi kurungan dan denda yang selama ini berlangsung sudah dianggap mumpuni, hanya masalahnya terletak pada kesungguhan untuk menegakkan hukum. (NB: Jadi, kalau kita ingin memberantas terorisme, salah satu syaratnya, ya, harus tercipta keadilan)
Jadi, hukum Allah seperti apa yang dimaksudkan?
Hipotesanya adalah hukum Allah hanyalah padanan kata dari hukum alam. Bagi siapa yang berpikir dan menaati hukum alam maka kehidupannya akan berlangsung baik. Hukum bahwa mennggunduli hutan akan diikuti dengan bencana kehidupan, mulai suhu bumi yang meningkat, seringnya terjadi badai, cuaca ekstrem, banjir, sampai dengan menipisnya lapisan ozon di atmosfer. Dsb.
Hukum alam juga memperlihatkan keseimbangan. Bagaimana rotasi dan kecepatan bumi beredar. Sedikit saja berubah kecepatannya, kiamat bagi manusia. Bagaimana tata surya dan galaksi-galaksi dinamis dalam keteraturannya. Dsb. Dsb.
Hukum alam mengisyaratkan bahwa segala tindakan memperturutkan hawa nafsu, merugikan orang lain, hakekatnya adalah merugikan diri sendiri. Manusia adalah mahluk sosial, bukan tarzan. Manusia harus bahu membahu, saling menolong agar kehidupan terus bisa bertahan seperti seharusnya. Itulah tanggung jawab sebagai kholifah di bumi. Petengkaran, perepecahan, sikap acuh terhadap sesama hanya menjauhkan tujuan sebagaimana Tuhan perintahkan.
Prasangka, kebencian, kemarahan, ketidakjujuran jelas merusak pikiran dan sistem saraf maupun kekebalan tubuh. Demikian pula riba, mencuri dan menipu orang lain, karena jelas merugikan di jangka panjangnya.
Karena itulah, manusia modern akan lebih menyadari tentang kebaikan jika disentuh logikanya lewat argumen-argumen yang riil sesuai hukum alam. Ma’af,bukan dengan hukum Allah lewat  ancaman-ancaman akhiratnya yang sialnya, kurang ‘dibumikan’ oleh para da’i sehingga dirasa jauh dan hanya sebagai imaji saja.
Maka hukum mana yang melebihi sempurnanya hukum Allah atau sunnatullah (hukum alam)? Bagaimana menurut pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar